PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada Era Globalisasi seperti saat ini,
kita mengetahui dalam kehidupan
sehari-sehari telah dimudahkan dengan adanya teknologi dan berbagai kemudahan
lainnya. Tanpa disadari, hal ini mengakibatkan lunturnya nilai-nilai Pancasila
sebagai jati diri bangsa Indonesia. Perlahan-lahan hal ini dapat melunturkan
kemudian menghilangkan Pancasila dari dalam hati masyarakat Indonesia, terutama
bagi para generasi muda.
Lunturnya Pancasila dari jiwa para
generasi muda juga sangat berdampak kepada perilaku/gaya hidup sehari-hari
mereka. Sejalan dengan hal itu, makalah ini disusun agar dapat memberikan referensi
bagi para generasi muda agar mampu mengetahui bagaimana ciri-ciri berpikir
ilmiah-filsafati dalam pembahasan Pancasila. Selain itu membantu untuk
mengetahui bentuk dan susunan Pancasila. Kemudian memberikan pemaparan pula
mengenai refleksi terhadap kajian ilmiah tentang Pancasila di Era Global.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah dipaparkan, rumusan masalah dari makalah ini adalah
sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah ciri-ciri berpikir
ilmiah-filsafati dalam pembahasan Pancasila?
2.
Bagaimanakah
bentuk dan susunan Pancasila?
3.
Bagaimanakah
refleksi terhadap kajian ilmiah tentang Pancasila di Era Global?
C.
Tujuan:
Makalah ini disusun dengan tujuan
sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan
ciri-ciri berpikir ilmiah-filsafati dalam pembahasan Pancasila.
2.
Mengetahui
bentuk dan susunan Pancasila.
3.
Memaparkan
refleksi terhadap kajian ilmiah tentang Pancasila di Era Global.
D.
Manfaat
Penulisan
makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teroritis maupun
praktis. Bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya. Secara teoritis makalah
ini diharapkan mampu memabantu dalam memberikan referensi mengenai ciri-ciri
berpikir ilmiah-filsafati dalam pembahasan Pancasila, bentuk dan susunan
Pancasila, dan refleksi terhadap kajian ilmiah tentang Pancasila di Era Global.
Secara praktis, semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam
bersikap/berperilaku sesuai dengan Pancasila.
BAB II
1. Ciri-ciri Berpikir Ilmiah-Filsafati terhadap Pancasila
Ilmu
pengetahuan adalah kumpulan dari usaha manusia untuk memahami kenyataan sejauh
dapat dijangkau oleh daya pemikiran manusia berdasarkan pengalaman secara
empirik dan reflektif. Ada pula syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
sehingga pengetahuan tersebut dapat dikatakan sebagai ilmu. Poedjawijatna
menyebutnya sebagai syarat ilmiah (Kaelan, 1998), yaitu:
1.
Berobjek
2.
Bermetode
3.
Bersistem
4.
Bersifat
umum/universal
1)
Berobjek
Syarat pertama
bagi suatu kajian ilmiah ialah berobjek. Objek tersebut dapat dibedakan menjadi
2 macam, yaitu objek formal dan objek material. Objek formal Pancasila ialah
suatu sudut pandang tertentu dalam pembahasan Pancasila, atau dari sudut
pandang apakah Pancasila tersebut dibahas. Pada hakikatnya Pancasila dapat
dibahas dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ‘moral’ maka
terdapat bidang pembahasan ‘moral Pancasila’ dari sudut pandang ‘ekonomi’
maka terdapat bidang pembahasan ‘ekonomi Pancasila’dan lain
sebagainya. Sedangkan Objek material Pancasila ialah suatu objek yang merupakan
sasaran pembahasan Pancasila baik bersifat empiris maupun nonempiris. Objek
tersebut ialah pernyataan-pernyataan, ide, kenyataan sosio-kultural yang
terwujud dalam hukum, teks sejarah, adat-istiadat, sistem nilai, karakter,
kepribadian manusia/masyarakat Indonesia sejak dahulu hingga sekarang. Oleh
karena itu objek material pembahasan Pancasila adalah bangsa Indonesia dengan
segala aspek budayanya, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Objek material
empiris dari pembahasan Pancasila adalah dapat berupa hasil budaya bangsa
Indonesia yang berupa, lembaran sejarah, bukti-bukti sejarah, benda-benda
sejarah, maupun adat-istiadat bangsa Indonesia sendiri. Ada pula objek-objek
yang bersifat non empiris antara lain meliputi nilai-nilai budaya, nilai moral,
serta nilai-nilai religius yang tercermin dalam kepribadian sifat, karakter dan
pola-pola budaya dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2)
Bermetode
Setiap ilmu
harus memiliki metode, yaitu seperangkat cara atau sistem pendekatan untuk
membahas objek material agar mendapatkan kebenaran yang objektif. Demikian pula
halnya dengan Pancasila. Jika Pancasila dibahas dari segi sejarah, maka metode
yang dipakai adalah metode ilmu sejarah. Selain itu bisa juga secara filosofis
dengan metode analisis-sintesis. Metode analisis-sintesis adalah menguraikan
dan memerinci pernyataan-pernyataan yang kemudian disimpulkan menjadi suatu
pengetahuan baru. Ada pula metode induksi dan deduksi, yang merupakan metode
berpikir untuk mengkaji Pancasila. Metode induksi ialah metode berpikir yang
dimulai dari hal-hal yang bersifat khusus dan kejadian berulang-ulang untuk
kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan metode deduksi adalah
metode berpikir yang bertitik tolak dari pernyataan umum untuk ditarik
kesimpulan secara khusus. Ada pula metode hermeneutika merupakan metode
menafsirkan. Objek materialnya adalah pernyataan-pernyataan teks dan simbol.
Tujuannya untuk memperoleh makna atau hakikat dari hal yang ditafsirkan.
3)
Bersistem
Pemahaman
Pancasila secara ilmiah merupakan satu kesatuan dan keutuhan, bahkan Pancasila
itu sendiri pada dasarnya merupakan kebulatan yang sistimatis, logis, dan tidak
bertentangan di dalam sila-silanya (Kaelan, 1998).
Notonagoro
mengatakan bahwa sila-sila Pancasila tersusun secara hierarkis, piramidal, dan
bersifat majemuk-tunggal.
Hierarkis Piramidal ialah sila-sila Pancasila ditempatkan sesuai
luas cakupan dan keberlakuan pengertian yang terkandung di dalamnya. Sila Ketuhanan
diletakkan pada
urutan
pertama, karena menunjuk pada eksistensi Tuhan sebagai sang Pencipta. Sila
Kemanusiaan diletakkan pada urutan kedua, karena manusia hanyalah sebagian dari
ciptaan Tuhan di samping makhluk lain yang ada di alam semesta. Inti dari sila
ketiga adalah Persatuan, yang menunjuk adanya kelompok-kelompok manusia sebagai
makhluk sosial. Sila keempat berintikan Kerakyatan, artinya dalam kelompok
manusia yang berbangsa dan bernegara memerlukan sistem pengelolaan hidup
bersama atas dasar kedaulatan. Sila kelima berintikan Keadilan, hal ini dapat
dijelaskan bahwa manusia sebagai ciptaan Tuhan bersatu membentuk bangsa dan
negara mempunyai tujuan
bersama
yaitu untuk mencapai keadilan. Dengan demikian sila kelima ini merupakan
realisasi dari eksistensi manusia yang hidup berkelompok di sebuah negara.
4)
Universal
Kebenaran
pengetahuan ilmiah relatif berlaku secara universal. Artinya kebenaran tidak
terbatas oleh ruang, waktu, keadaan, situasi, kondisi, maupun jumlah tertentu.
Demikian juga dengan kajian terhadap Pancasila. Masing-masing sila Pancasila
bersifat universal, yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan
Keadilan. Kata Ketuhanan memiliki makna yang hampir sama dengan religiusitas.
Kemanusiaan analog dengan kata humanisme. Persatuan analog dengan
kata nasionalisme. Kerakyatan analog dengan demokrasi. Sedangkan
Keadilan analog dengan kesejahteraan. Arti universal tidak sama dengan
absolut, karena pengetahuan manusia tidak akan pernah mencapai kebenaran yang
mutlak.
Di samping
Pancasila memiliki nilai-nilai dasar yang universal, Pancasila juga memiliki
nilai-nilai yang berlaku hanya untuk rakyat Indonesia dalam bentuk UUD 1945.
2. Bentuk dan Susunan Pancasila
1.
Bentuk
Pancasila
a.
Merupakan kesatuan
yang utuh
Masing-masing sila dalam Pancasila membentuk pengertian yang baru.
Kelima sila tidak dapat dilepas satu dengan lainnya. Walaupun masing-masing
sila berdiri sendiri tetapi hubungan antar sila merupakan hubungan yang
organis.
b.
Setiap unsur
pembentuk Pancasila merupakan unsur mutlak yang membentuk kesatuan, bukan unsur
yang komplementer. Artinya, salah satu unsur (sila)
kedudukannya tidak lebih rendah dari yang lain. Walaupun sila
Ketuhanan merupakan sila yang berkaitan dengan Tuhan sebagai causa prima, tetapi
tidak berarti sila lain hanya sebagai pelengkap.
c.
Sebagai satu
kesatuan yang mutlak, tidak dapat ditambah atau dikurangi. Oleh karena itu
Pancasila tidak dapat diperas menjadi trisila yang meliputi sosio-nasionalisme,
sosio-demokrasi, ketuhanan, atau eka sila yaitu gotong royong sebagaimana
dikemukakan oleh Ir.Soekarno.
2.
Susunan
Pancasila
Pancasila
disusun berdasarkan urutan logis. Oleh sebab itu, sila pertama“Ketuhanan Yang
Maha Esa” diletakkan pada urutan teratas, karena bangsa Indonesia meyakini bahwa
segala sesuatu datangnya dari Tuhan dan akan kembali pula kepada-Nya. Sila
kedua yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” diletakkan setelah
Ketuhanan. Sebab, yang akan mencapai tujuan (nilai) yang diinginkan adalah manusia sebagai
pendukung serta pengemban dari nilai-nilai tersebut.
Hal selanjutnya yang perlu dibentuk adalah
adanya persatuan “Persatuan Indonesia” atau nasionalisme yang terbentuk bukan
atas dasar persmaan suku bangsa, agama, bahasa. Akan tetapi, dilatarbelakangi oleh historis dan etis. Historis adalah
adanya persamaan sejarah/masa lalu, senasib sepenanggungan akibat penjajahan.
Etis artinya berdasarkan kehendak sang luhur untuk mencapai cita-cita moral sebagai
bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Persatuan Indonesia
adalah sesuatu yang harus diwujudkan, diperjuangkan, dipertahankan, dan diupayakan
secara terus-menerus. Sila keempat berbunyi “Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, ialah cara yang harus
ditempuh ketika suatu negara ingin mengambil kebijakan. Kekuasaan negara diperoleh
langsung dari rakyat, sehingga rakyatlah yang berdaulat. Sila kelima “Keadilan
Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” diletakkan pada urutan terbawah. Sebab
pada sila ini terdapat tujuan dari negara Indonesia yang merdeka.
Oleh karena itu
masing-masing sila mempunyai makna dan peran sendiri-sendiri. Semua sila berada
dalam keseimbangan dan memiliki peran dengan bobot yang sama. Akan tetapi,
masing-masing unsur memiliki hubungan yang organis,maka sila yang berada di atas menjiwai sila yang berada di
bawahnya.
Notonagoro
berpendapat bahwa susunan sila-sila Pancasila merupakan satuan yang organis,
yang disebut dengan istilah majemuk tunggal. Majemuk tunggal artinya Pancasila
terdiri dari 5 sila yang merupakan kesatuan yang berdiri sendiri secara utuh.
Kemudian, Notonagoro berpendapat pula bahwa bentuk dan susunan Pancasila adalah
hierarkhis-piramidal. Hierarkhis berarti tingkat, sedangkan Piramidal
menggambarkan hubungan bertingkat dari sila-sila Pancasila.
Pancasila sebagai satu kesatuan sistem nilai, juga membawa
implikasi bahwa antara sila yang satu dengan sila yang lain saling mengkualifikasi.
Hal ini menunjukkan bahwa di antara sila yang satu dengan yang lain saling
memberi kualitas atau bobot isi. Sebagai contoh Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi
basis dari sial kemanusiaan yang adil dan beradab, yang berpersatuan Indonesia,
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan serta berkeadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula untuk
sila-sila yang lainnya pasti akan menunjukkan adanya keterkaitan.
3. Refleksi terhadap Kajian Ilmiah tentang Pancasila di Era Global
Kajian ilmiah
mengenai Pancaila sejak disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 sampai saat ini
mengalami pasang surut. Tokoh yang mengawali pengkajian tentang Pancasila
secara ilmiah populer dan filosofis ialah Notonagoro dan Driyarkara. Pemikiran
dari Notonagoro tentang Pancasila menghasilkan suatu telaah yang bermakna bagi
Perkembangan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia.
Meskipun
demikian, masih terbuka bahan dialog serta kajian kritis terhadap Pancasila.
Artinya Pancasila sebagai dasar falsafah negara tidak boleh menjadi ideologi
yang beku sehingga seluruh komponen bangsa, terutama mahasiswa sebagai calon
pemimpin bangsa dan intelektual muda dapat memberikan ide-ide baru dan kreatif.
Di era global
seperti yang sedang terjadi saat ini, dunia datar (dunia maya) secara langsung
atau pun tidak langsung banyak menghadirkan ideologi asing yang gencar menerpa
masyarakat Indonesia. Banyak masyarakat yang tidak menyadari akan hal ini,
justru kebanyakan menganggap bahwa nilai-nilai dan ideologi asing justru
menjadi pandangan hidupnya seperti materialisme, hedonisme, konsumerisme.
Materialisme
ialah sikap hidup yang mengagungkan materi atau benda-benda. Ukuran kesuksesan
sesorang dipandang dari segi materi yang dimiliki, sehingga sering mengabaikan
etos kerja serta nilai-nilai kemanusiaan. Seseorang akan menjadi kurang
menghargai orang lain dari sisi spiritualisnya. Hedonisme merupakan suatu paham
serta sikap hidup yang mengutamakan kenikmatan dan kesenangan duniawi. Hidupnya
berorientasi pada pemuasan kebutuhan hidup secara fisik, seperti senang menikmati
makanan mahal, barang yang bermerk/berkelas, gaya hidup metropolit dan kebarat-baratan,
seperti senang dengan kehidupan dunia gemerlap di mana seks bebas, rokok,
narkoba menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. Pengaruh ideologi asing
yang selanjutnya adalah Konsumerisme, yaitu sikap serta gaya hidup yang lebih
senang berada di posisi sebagai pengguna (konsumen) daripada menjadi
pembuat/penghasil (produsen). Kecenderungan konsumtif yang berlebihan ditandai
dengan membeli atau memiliki barang-barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan,
melainkan sekadar ingin dimilikinya.
Dengan
adanya berbagai gejala seperti di atas, maka semakin diperlukan pula sebuah
kajian kritis terhadap Pancasila sebagai sumber nilai bagi kehidupan masyarakat
Indonesia. Sehingga diharapkan masyarakat dapat semakin kritis di dalam
menentukan pilihan-pilihan pandangan hidup, sikap serta gaya hidupnya yang
selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Dengan demikian, masyarakat Indonesia
memiliki prinsip-prinsip hidup yang kokoh, orientasi hidup yang jelas dalam
bersikap dan berperilaku sehingga tidak terombang-ambing mengikuti arus global.
DAFTAR PUSTAKA
Kaelan.2010.Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Penerbit
Paradigma
Rukiyati, dkk.2013.Pendidikan Pancasila. Yogyakarta:
Penerbit UNY Press
1 komentar:
Contoh untuk kehidupan di kampus gimana ya
Posting Komentar